Selasa, 14 Januari 2014



Otak
Cerpen Achmad Munjid

BEN njenggirat bangun. Ia sangat terkejut. Bantal, seprei, kaos, celana dan sekujur tubuhnya basah. Berlumuran cairan kental berwarna putih. Cairan berbau amis itu juga ia lihat berserakan menggerogoti langit-langit. Ia buka karpet, kalau-kalau ada lubang yang tiba-tiba terbuka dan mengeluarkan cairan yang menjijikan itu selagi ia tidur. Tidak juga ia temukan sumbernya. Tapi ketika kemudian ia meraba kepalanya, bagian tubuhnya Yang paling banyak dilumuri cairan itu, astagfirullah.....kepalanya retak!
  “Otakkukah yang berceceran ini?,” pikirnya dengan keterkejutan yang tidak alang-kepalang.
Tidak! Tidak mungkin. Tapi,... ini betul-betul gila! Dan mendadak saja Ben merasakan kepalanya berdenyut—enyut sangat keras. Seagala tulang tempurung kepalanya itu kini benar-benar ia rasakan telah saling lepas dan cairan otaknya terus menerus meleleh dari sana. Ben nyaris tak kuasa lagi bergerak. Juga karena takut otaknya makin berhamburan ke mana-mana.
  Sembari kalut menyebut-nyebut nama Tuhan, Ia lalu berusaha merenggut apa saja yang bisa digunakan sebagai pembalut kepala. Dalam sekejap ia pun telah tergopoh-gopoh menuju rumah sakit, yang kebetulan memang tidak seberapa jauh dari tempat tinggalnya.
  Ternyata, hari itu pengunjung rumah sakit bukan main padatnya. Tua muda, kaya, miskin,laki-laki, perempuan, mantri. Membawa masalah yang serupa; Otak! Ben yang tadinya demikian terburu-buru dan merasa harus di istimewakan, Kini terpaksa menahan diri. Cuma anehnya, tak terlihat seorang dari Merekapun yang terlihat ketakutan atau menampakan kecemasan seperti Ben. Biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi satu bahaya apapun atas kepala mereka. Sambil menunggu panggilan, mereka ngobrol, ketawa-ketawa, Bergurau. Hanya Ben sendiri yang Gelisah. Sebentar-sebentar tangannya bergerak meraba balutan besar yang yang membelit kepalanya itu. Semula ia ingin sekali bertanya, sekedar mengusir kegelisahan. Tapi melihat kelakuan orang-orang, Ben jadi ragu, Diam-diam lalu ia Cuma berusaha menguping, kalau-kalau ada yang sedang membicarakan peristiwa ganjil yang dialaminya itu.
  “Uh, Buu.. Bu, sanak famili saya di kota-kota lain, sekarang sudah tidak ada lagi yang mau susah-susah hidup pakai otak. Rebyeg. Repot,” seorang ibu rumah tangga berceloteh. Katanya, ia memang datang untuk mengeluarkan seluruh otak yang menurut dia sendiri sudah lama mengganggu kebebasan hidupnya.
  “Betul, Bu. Wong, sekarang, mau Mikir atau menghitung apa saja toh sudah ada alatnya, sok memikirkan permasalahan macam-macam paling-paling akhirnya malah pusing sendiri. Salah-salah kepala kita ini yang jadi korban,” yang lain menimpalinya.
   “Iya, betul. Saya setuju itu. Sekarang ini, otak Cuma jadi beban. Malaya, mending dibuang saja. Biar aman. Lha, di pelihara tiap hari malah Miki yang cabul-cabul. Bagi bujangan macam saya Ian malah repot sendiri akibatnya, do?,”
Mereka tertawa tergelak-gelak.
   Bukannya tenang, Ben malah jadi bertambah gusar mendengar omongan orang-orang itu.
   “dokter.....ketika bangun tidur tadi, saya dapati kepala saya retak. Dan cairan putih ini terus menerus keluar. Apa betul itu otak saya, dok?,” Ben bertanya gemetar begitu gilirannya tiba. Entah setelah berapa jam menunggu, sampai ia sendiri nyaris pingsan.
   Tenang saja, Pak. Tidak apa-apa,” dokter itu tersenyum-senyum sambil memapah ban duduk. Air mukanya sangat cerah dan nampak sangat sabar.
   “Bagian belakang kepala bapak memang retak,” ujar dokter itu ringan ringan sambil begitu saja membuka batok kepala Ben. Seakan kepala lelaki itu tidak ubahnya kap sebuah lampu. “Tapi akan segera baik kembali dalam waktu beberapa hari nanti. Tidak ada yang perlu di khawatirkan.”
   “Lalu otak saya bagaimana, Dok?”
   “Ya terserah. Kebetulan memang masih tersisa separo.”
   “Separo?”
   “Ya. Mau dikuras” Bisa. Atau mau dibiarkan tetap disitu? Terserah.”
   “Di kuras bagaimana, dokter?”
   “Di kuras, Ya di kuras. Di bersihkan; di buang semuanya sekalian. Seperti juga yang di lakukan orang-orang lain. Rata-rata mereka semua merasa hidup lebih bebas tanpa otak. Saya kira memang begitu. Lebih rileks. Bagaimana?”
   “Lalu saya...?”
   “Tidak ada masalah. Toh selama ini otak Bapak nyatanya juga tidak terpakai. Buktinya, sisa otak yang masih ada ini sudah nyaris membusuk. Dan, tidak perlu khawatir. Sekarang hidup di negeri ini sebetulnya memang tidak membutuhkan otak,” dokter itu tertawa ringan, sangat ringan. “Atau, kalau bapak mau, bisa juga saya sisakan barang satu dua sese.”
   Gila!
   “Tidak! Jangan, Dokter. Bagaimana mungkin saya bisa hidup tanpa otak? Biarkan saja semua, Meskipun Cuma separo. Itu lebih baik.”
   Dokter kembali terkekeh.
   Pulang dari rumah sakit, Ben masih merasakan kepalanya berdenyut-denyut keras. Panas dingin tidak menentu. Pusing, hingga sekujur tubuhnya menggigil. Dan dia merasakan bertambah pening ketika membaca berita di media massa. Hampir semua headline koran memang heboh  memberitakan soal otak, yang rupanya kini telah menjadi masalah hangat Dimana-mana. Hidup lebih nyaman , Tanpa otak. Otak, Sumber petaka. Selamat tinggal, Otak.......
   Ben pusing. Benar-benar pusing!
   Dari pada kena teror sana-sini,  Hari-hari berikutnya Ben kemudian lebih suka berdiam diri. Ia tidak mau lagi mengikuti berita simpang-siur yang makin tidak masuk akal saja. Ia persetankan semua berita-berita di luar yang jungkir balik dan tidak karuan juntrungannya.
   Tapi celakanya, kegilaan di luar itu rupanya telah terjadi pada diri Ben. Bayangkan, Jelas-jelas menurut Dokter otaknya tinggal separo, Tapi sampai hari itu ia tidak merasakan kelainan apapun. Atau, betulkah ia juga termasuk orang yang otaknya tidak ada gunanya? Cih!

------

   Terik menyengat sengit. Jalanan menggeliat seakan hendak mengibaskan manusia-manusia yang berlarian di atas kendaraan seperti diburu setan. Ben melangkah gontai menyusuri trotoar. Berkali-kali ia meraba topinya. Tepatnya, Memeriksa bekas luka di bagian belakang kepalanya. Sebenarnya jahitannya memang sudah lumayan membaik Tapi panas yang memanggang seperti ini bisa saja membuat luka itu mendadak terbuka.
   Saambil melangkah ia biarkan pikirannya kembali bergentayangan. Mencoba mengais-ngais kemuskilan yang membuatnya nyaris tidak pernah tidur setiap malam. Betulkah makin banyak manusia di negeri ini yang hendak hidup tanpa otak? Tetap sulit pikiran Ben mencernanya. Tapi, Melihat Berbagai peristiwa dan kejadian yang makin carut-marut akhir-akhir ini, sulit pula ia tidak membenarkannya. Orang-orang berubut kekuasaan dengan mengatasnamakan keadilan, tapi sambil semenang-menang menginjak kepala sesama. Cendikiawan meneriak-neriakan kepalsuan sebagai kebenaran, Lalu menjualnya kepada siapa saja. Pemuka agama sibuk berdalil untuk melegitimasi segala tindakan korup penguasa dan orang-orang kaya. Orang-orang miskin saling membunuh sambil tertawa-tawa. Oarng tua memperkosa anak kandung, Anak menikam ibunya sendiri. Orang momong, Asal omong. Orang bersorak, Asal bersorak. Oarng berkelahi, Asal mereka suka. Segalanya jumpalitan tanpa logika. Orang menggunakan otak bahkan terlihat aneh dan jadi bahan tertawaan.
   Bagaimana mungkin itu semua bisa terjadi di sini?
   Tiba-tiba kaki Ben tertantuk. Ia terhuyung Bruk!
    Kepala yang dijaga ekstra hati-hati itu tak pelak membentur tiang listrik. Topinya terlempar dan satu gumpalan putih ia melesat bersama topi itu. Ben terkesiap. Serta-merta ia rasakan batok kepalanya terbuka. Dan ketika tangannya dengan gemetar meraba bagian Bun-ubunnya, Ya Allah,.....benar!
    Dengan kalap ia menghampiri tempat benda tadi terjatuh. Dan tanpa pikir panjang lagi, terus saja ia meraup gumpalan yang sebagian sudah Pecah berhamburan itu. Ditampungnya dengan sapu tangan. Lalu ia masukan begitu saja ke dalam topi, agar terhindar dari debu dan sengatan matahari. Kerikil dan pasir jalan yang berterempelan di pisahkannya dengan sangat perlahan dan teliti.
    Selagi ia kalut begitu, sekonyong-konyong seekor anjing telah berdiri disampingnya. Nafasnya mendengus-dengus liar. Rupanya anjing itu sangat terangsang oleh bau amis oleh benda di tangan Ben. Cepat-cepat di usirnya anjing kurang ajar itu. Tapi, Bukannya menjauh, Binatang itu malah Cuma menjulur-julurkan lidahnya. Matanya menatap tajam topi di tangan Ben.
    “Mas, Tolong mas,” Ben menghentikan orang yang kebetulan lewat di dekatnya.
    “Apa?!”
    “Otak... otak saya,..... otak saya tumpah.....!”
    “Kenapa memang? Kasih saja sama anjing itu. Ngapain repot-repot. Lagian, otak sudah sudah bercampur pasir begitu, buat apa di urusi,” Tanpa menghiraukan kebingungan Ben orang itu berlalu begitu saja.
    Dasar manusia tidak punya otak!, batin Ben merutuk.
    Topi yang berisi otak itupun segera disembunyikannya dibalik baju. Lalu, setelah membetulkan tempurung kepala bagian belakang yang tadi terbuka, Ben segera bergegas pulang. Dibiarkannya saja lalu menjilat-jilat rakus sisa otak yang sudah bercampur kotoran jalan.
    Ia berjalan cepat, langkahnya tersaruk-saruk. Sepanjang jalan, berkali-kali dilihatnya lagi gumpalan otak dalam topinya tadi. Hatinya Was-was. Tapi, Setiap kali diamatinya lagi benda itu, perutnya jadi terasa bertambah mual. Gumpalan itu memang mulai meleleh. Baunya makin anyir. Bahkan lalat-lalat yang hinggap bertambah banyak mengikuti langkah Ben. Lalat-lalat besar berwarna hijau dengan suara mendengung yang sangat menjijikan. Semakin dilihat, benda dalam topinya itu semakin membuat Ben bergidik. Dan ia juga mulai mendapati kepalanya Yang tanpa otak kini jadi lebih enteng. Lebih enak saja, rasanya. Ben teringat omongan-omongan orang yang didengarnya tempo hari.
    Ketika lewat diatas jembatan, mendadak ia berhenti. Disana Ben berdiri termangu-mangu. Topi berisi otak itu dipandanginya lagi lama-lama. Baunya bertambah menusuk. Perutnya bertambah mual. Ingin ia buang saja benda itu kekali, saat itu juga, tapi hatinya masih ragu.
   Bisakah ia hidup tanpa otak?       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar