Otak
Cerpen Achmad Munjid
BEN njenggirat bangun. Ia sangat terkejut. Bantal, seprei,
kaos, celana dan sekujur tubuhnya basah. Berlumuran cairan kental berwarna
putih. Cairan berbau amis itu juga ia lihat berserakan menggerogoti
langit-langit. Ia buka karpet, kalau-kalau ada lubang yang tiba-tiba terbuka
dan mengeluarkan cairan yang menjijikan itu selagi ia tidur. Tidak juga ia
temukan sumbernya. Tapi ketika kemudian ia meraba kepalanya, bagian tubuhnya
Yang paling banyak dilumuri cairan itu, astagfirullah.....kepalanya retak!
“Otakkukah yang
berceceran ini?,” pikirnya dengan keterkejutan yang tidak alang-kepalang.
Tidak! Tidak mungkin. Tapi,... ini betul-betul gila! Dan
mendadak saja Ben merasakan kepalanya berdenyut—enyut sangat keras. Seagala
tulang tempurung kepalanya itu kini benar-benar ia rasakan telah saling lepas
dan cairan otaknya terus menerus meleleh dari sana. Ben nyaris tak kuasa lagi
bergerak. Juga karena takut otaknya makin berhamburan ke mana-mana.
Sembari kalut
menyebut-nyebut nama Tuhan, Ia lalu berusaha merenggut apa saja yang bisa
digunakan sebagai pembalut kepala. Dalam sekejap ia pun telah tergopoh-gopoh
menuju rumah sakit, yang kebetulan memang tidak seberapa jauh dari tempat
tinggalnya.
Ternyata, hari
itu pengunjung rumah sakit bukan main padatnya. Tua muda, kaya, miskin,laki-laki,
perempuan, mantri. Membawa masalah yang serupa; Otak! Ben yang tadinya demikian
terburu-buru dan merasa harus di istimewakan, Kini terpaksa menahan diri. Cuma
anehnya, tak terlihat seorang dari Merekapun yang terlihat ketakutan atau
menampakan kecemasan seperti Ben. Biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi satu
bahaya apapun atas kepala mereka. Sambil menunggu panggilan, mereka ngobrol,
ketawa-ketawa, Bergurau. Hanya Ben sendiri yang Gelisah. Sebentar-sebentar
tangannya bergerak meraba balutan besar yang yang membelit kepalanya itu.
Semula ia ingin sekali bertanya, sekedar mengusir kegelisahan. Tapi melihat
kelakuan orang-orang, Ben jadi ragu, Diam-diam lalu ia Cuma berusaha menguping,
kalau-kalau ada yang sedang membicarakan peristiwa ganjil yang dialaminya itu.
“Uh, Buu.. Bu,
sanak famili saya di kota-kota lain, sekarang sudah tidak ada lagi yang mau
susah-susah hidup pakai otak. Rebyeg. Repot,” seorang ibu rumah tangga
berceloteh. Katanya, ia memang datang untuk mengeluarkan seluruh otak yang menurut
dia sendiri sudah lama mengganggu kebebasan hidupnya.
“Betul, Bu. Wong,
sekarang, mau Mikir atau menghitung apa saja toh sudah ada alatnya, sok
memikirkan permasalahan macam-macam paling-paling akhirnya malah pusing
sendiri. Salah-salah kepala kita ini yang jadi korban,” yang lain menimpalinya.
“Iya, betul.
Saya setuju itu. Sekarang ini, otak Cuma jadi beban. Malaya, mending dibuang
saja. Biar aman. Lha, di pelihara tiap hari malah Miki yang cabul-cabul. Bagi
bujangan macam saya Ian malah repot sendiri akibatnya, do?,”
Mereka tertawa tergelak-gelak.
Bukannya tenang,
Ben malah jadi bertambah gusar mendengar omongan orang-orang itu.
“dokter.....ketika bangun tidur tadi, saya dapati kepala saya retak. Dan
cairan putih ini terus menerus keluar. Apa betul itu otak saya, dok?,” Ben
bertanya gemetar begitu gilirannya tiba. Entah setelah berapa jam menunggu,
sampai ia sendiri nyaris pingsan.
Tenang saja,
Pak. Tidak apa-apa,” dokter itu tersenyum-senyum sambil memapah ban duduk. Air
mukanya sangat cerah dan nampak sangat sabar.
“Bagian belakang
kepala bapak memang retak,” ujar dokter itu ringan ringan sambil begitu saja
membuka batok kepala Ben. Seakan kepala lelaki itu tidak ubahnya kap sebuah
lampu. “Tapi akan segera baik kembali dalam waktu beberapa hari nanti. Tidak
ada yang perlu di khawatirkan.”
“Lalu otak saya
bagaimana, Dok?”
“Ya terserah.
Kebetulan memang masih tersisa separo.”
“Separo?”
“Ya. Mau
dikuras” Bisa. Atau mau dibiarkan tetap disitu? Terserah.”
“Di kuras
bagaimana, dokter?”
“Di kuras, Ya di
kuras. Di bersihkan; di buang semuanya sekalian. Seperti juga yang di lakukan
orang-orang lain. Rata-rata mereka semua merasa hidup lebih bebas tanpa otak.
Saya kira memang begitu. Lebih rileks. Bagaimana?”
“Lalu saya...?”
“Tidak ada
masalah. Toh selama ini otak Bapak nyatanya juga tidak terpakai. Buktinya, sisa
otak yang masih ada ini sudah nyaris membusuk. Dan, tidak perlu khawatir. Sekarang
hidup di negeri ini sebetulnya memang tidak membutuhkan otak,” dokter itu
tertawa ringan, sangat ringan. “Atau, kalau bapak mau, bisa juga saya sisakan
barang satu dua sese.”
Gila!
“Tidak! Jangan,
Dokter. Bagaimana mungkin saya bisa hidup tanpa otak? Biarkan saja semua,
Meskipun Cuma separo. Itu lebih baik.”
Dokter kembali
terkekeh.
Pulang dari
rumah sakit, Ben masih merasakan kepalanya berdenyut-denyut keras. Panas dingin
tidak menentu. Pusing, hingga sekujur tubuhnya menggigil. Dan dia merasakan
bertambah pening ketika membaca berita di media massa. Hampir semua headline
koran memang heboh memberitakan soal
otak, yang rupanya kini telah menjadi masalah hangat Dimana-mana. Hidup lebih nyaman , Tanpa otak. Otak,
Sumber petaka. Selamat tinggal, Otak.......
Ben pusing.
Benar-benar pusing!
Dari pada kena
teror sana-sini, Hari-hari berikutnya
Ben kemudian lebih suka berdiam diri. Ia tidak mau lagi mengikuti berita
simpang-siur yang makin tidak masuk akal saja. Ia persetankan semua
berita-berita di luar yang jungkir balik dan tidak karuan juntrungannya.
Tapi celakanya,
kegilaan di luar itu rupanya telah terjadi pada diri Ben. Bayangkan,
Jelas-jelas menurut Dokter otaknya tinggal separo, Tapi sampai hari itu ia
tidak merasakan kelainan apapun. Atau, betulkah ia juga termasuk orang yang
otaknya tidak ada gunanya? Cih!
------
Terik menyengat
sengit. Jalanan menggeliat seakan hendak mengibaskan manusia-manusia yang
berlarian di atas kendaraan seperti diburu setan. Ben melangkah gontai
menyusuri trotoar. Berkali-kali ia meraba topinya. Tepatnya, Memeriksa bekas
luka di bagian belakang kepalanya. Sebenarnya jahitannya memang sudah lumayan
membaik Tapi panas yang memanggang seperti ini bisa saja membuat luka itu
mendadak terbuka.
Saambil
melangkah ia biarkan pikirannya kembali bergentayangan. Mencoba mengais-ngais
kemuskilan yang membuatnya nyaris tidak pernah tidur setiap malam. Betulkah
makin banyak manusia di negeri ini yang hendak hidup tanpa otak? Tetap sulit
pikiran Ben mencernanya. Tapi, Melihat Berbagai peristiwa dan kejadian yang
makin carut-marut akhir-akhir ini, sulit pula ia tidak membenarkannya.
Orang-orang berubut kekuasaan dengan mengatasnamakan keadilan, tapi sambil
semenang-menang menginjak kepala sesama. Cendikiawan meneriak-neriakan kepalsuan
sebagai kebenaran, Lalu menjualnya kepada siapa saja. Pemuka agama sibuk
berdalil untuk melegitimasi segala tindakan korup penguasa dan orang-orang
kaya. Orang-orang miskin saling membunuh sambil tertawa-tawa. Oarng tua
memperkosa anak kandung, Anak menikam ibunya sendiri. Orang momong, Asal omong.
Orang bersorak, Asal bersorak. Oarng berkelahi, Asal mereka suka. Segalanya
jumpalitan tanpa logika. Orang menggunakan otak bahkan terlihat aneh dan jadi
bahan tertawaan.
Bagaimana
mungkin itu semua bisa terjadi di sini?
Tiba-tiba kaki
Ben tertantuk. Ia terhuyung Bruk!
Kepala yang
dijaga ekstra hati-hati itu tak pelak membentur tiang listrik. Topinya
terlempar dan satu gumpalan putih ia melesat bersama topi itu. Ben terkesiap.
Serta-merta ia rasakan batok kepalanya terbuka. Dan ketika tangannya dengan
gemetar meraba bagian Bun-ubunnya, Ya Allah,.....benar!
Dengan kalap ia
menghampiri tempat benda tadi terjatuh. Dan tanpa pikir panjang lagi, terus saja
ia meraup gumpalan yang sebagian sudah Pecah berhamburan itu. Ditampungnya
dengan sapu tangan. Lalu ia masukan begitu saja ke dalam topi, agar terhindar
dari debu dan sengatan matahari. Kerikil dan pasir jalan yang berterempelan di
pisahkannya dengan sangat perlahan dan teliti.
Selagi ia kalut
begitu, sekonyong-konyong seekor anjing telah berdiri disampingnya. Nafasnya
mendengus-dengus liar. Rupanya anjing itu sangat terangsang oleh bau amis oleh
benda di tangan Ben. Cepat-cepat di usirnya anjing kurang ajar itu. Tapi,
Bukannya menjauh, Binatang itu malah Cuma menjulur-julurkan lidahnya. Matanya
menatap tajam topi di tangan Ben.
“Mas, Tolong
mas,” Ben menghentikan orang yang kebetulan lewat di dekatnya.
“Apa?!”
“Otak... otak
saya,..... otak saya tumpah.....!”
“Kenapa memang?
Kasih saja sama anjing itu. Ngapain repot-repot. Lagian, otak sudah sudah
bercampur pasir begitu, buat apa di urusi,” Tanpa menghiraukan kebingungan Ben
orang itu berlalu begitu saja.
Dasar manusia
tidak punya otak!, batin Ben merutuk.
Topi yang
berisi otak itupun segera disembunyikannya dibalik baju. Lalu, setelah
membetulkan tempurung kepala bagian belakang yang tadi terbuka, Ben segera
bergegas pulang. Dibiarkannya saja lalu menjilat-jilat rakus sisa otak yang
sudah bercampur kotoran jalan.
Ia berjalan
cepat, langkahnya tersaruk-saruk. Sepanjang jalan, berkali-kali dilihatnya lagi
gumpalan otak dalam topinya tadi. Hatinya Was-was. Tapi, Setiap kali diamatinya
lagi benda itu, perutnya jadi terasa bertambah mual. Gumpalan itu memang mulai
meleleh. Baunya makin anyir. Bahkan lalat-lalat yang hinggap bertambah banyak
mengikuti langkah Ben. Lalat-lalat besar berwarna hijau dengan suara mendengung
yang sangat menjijikan. Semakin dilihat, benda dalam topinya itu semakin
membuat Ben bergidik. Dan ia juga mulai mendapati kepalanya Yang tanpa otak
kini jadi lebih enteng. Lebih enak saja, rasanya. Ben teringat omongan-omongan
orang yang didengarnya tempo hari.
Ketika lewat diatas jembatan, mendadak ia
berhenti. Disana Ben berdiri termangu-mangu. Topi berisi otak itu dipandanginya
lagi lama-lama. Baunya bertambah menusuk. Perutnya bertambah mual. Ingin ia
buang saja benda itu kekali, saat itu juga, tapi hatinya masih ragu.
Bisakah ia hidup
tanpa otak?